Jumat, 02 Juli 2010

Status Gizi Anak Balita dan Solusi Terbaik untuk Peningkatan IPM Sulawesi Selatan (Bagian kedua)


Indeks pembangunan manusia (IPM) saat ini telah digunakan sebagai indikator pembangunan suatu negara atau daerah. Walaupun indikator ini terbatas pada tiga komponen saja, namun menjadi dasar pencapaian kinerja dari suatu pemerintahan. Tiga hal yang menjadi ukuran adalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Secara sederhana umur harapan hidup digunakan sebagai wakil sektor kesehatan. Telah diketahui bahwa status kesehatan masyarakat yang baik dapat memperpanjang umur harapan hidup. Sebaliknya umur harapan hidup suatu negara menurun dengan tingginya angka kematian atau angka penyakit yang nantinya mempercepat kematiannya. Sektor pendidikan dinilai dari prosentasi anak yang bersekolah sesuai umurnya termasuk jumlah penduduk yang bisa baca tulis. Sektor ekonomi diukur dengan pendapatan per kapita atau dapat dikatakan ukuran tingkat produktifitas yang dapat disumbangkan oleh setiap orang.

Status gizi secara langsung dapat mempengaruhi ke tiga indikator di atas. Sebagai ilustrasi, seorang anak yang lahir dari seorang ibu dengan status gizi yang baik dan memperoleh makanan yang adekuat selama kehamilannya dapat melahirkan seorang bayi sehat yang tumbuh berkembang secara optimal dan mempunyai umur harapan hidup yang baik (kesehatan). Bila bayi ini diberi ASI eksklusif dan memperoleh makanan pendamping ASI yang kaya gizi pada usia 6 bulan ke atas maka akan tumbuh dengan tingkat kecerdasan yang optimal. Seterusnya anak ini dapat melanjutkan sekolah dengan baik (pendidikan) dan bisa menamatkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi dan akhirnya menjadi sumber daya manusia yang produktif (ekonomi). Lebih rinci, hubungan status gizi dengan ketiga indikator IPM dapat dikemukakan di bawah ini.

Status gizi dan IPM

Anak dengan status gizi kurang atau buruk mempunyai resiko memperoleh penyakit lebih tinggi bahkan resiko kematian yang lebih tinggi dibanding anak normal. Seperti halnya yang dilaporkan oleh WHO (2000) bahwa sebanyak 60% dari penyebab kematian pada anak balita disebabkan secara tidak langsung oleh status gizi kurang. Bisa saja anak itu mengalami penyakit infeksi seperti diare, pneumonia, atau morbili, tapi bila gizinya baik maka ada proteksi dalam tubuhnya sehingga penyakit yang dideritanya itu tidak sampai menyebabkan kematian. Studi di beberapa negara memperlihatkan angka kematian anak di daerah dengan jumlah anak kurus yang melebihi 10% tanpak lebih tinggi. Secara fisiologi, kondisi ini dapat dijelaskan dengan sistem pertahanan tubuh yang lemah pada mereka yang kekurangan gizi sehingga mudah memperoleh penyakit atau penyakitnya lebih parah dibanding anak yang normal.

Hubungan status gizi anak dengan kecerdasan telah banyak diteliti dalam 2 dekade terakhir ini. Para ahli dapat menghitung besarnya kehilangan IQ sampai sebesar 15 point pada anak yang menderita gizi buruk. Demikian pula pada mereka yang pendek, terdapat penurunan kecerdasan yang selama ini dikaitkan dengan usia pertama kali masuk sekolah, tingginya angka drop-out, dan kesulitan menyelesaikan sekolah pada waktunya. Pengaruh gizi terhadap kecerdasan secara sederhana dapat dikaitkan dengan perkembangan otak anak yang dimulai sejak dalam kandungan sampai mencapai maksimal sampai anak berusia 5 tahun. Digambarkan berat otak anak yang baru lahir hanya 25% berat otak dewasa, pada saat anak berusia 2 tahun menjadi 70% berat otak dewasa, dan pada usia 5 tahun sudah sampai sebesar 90% berat otak dewasa. Pertumbuhan otak yang luar biasa dalam 2-5 tahun pertama ini memerlukan gizi yang sangat tinggi.

Disamping itu, otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan rangsangan dari luar di mana aktifitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Otak merupakan organ yang membutuhkan sumber bahan bakar glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi energi terbesar dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Otak juga membutuhkan protein, asam lemak esensial, serta berbagai vitamin dan mineral. Zat gizi ini digunakan untuk memperbanyak sel syaraf, memperlancar perjalanan syarat (neurotransmitter) dan berbagai aktifitas yang terkait dengan fungsi otak lainnya.

Hubungan status gizi dengan produktifitas sangat jelas terlihat pada mereka dengan status gizi pendek yang tidak dapat melakukan pekerjaan dengan intensitas yang berat. Selain status fisik (tinggi badan), zat gizi mikro yang terkait dengan kapasitas otot, fungsi jantung dan peredaran darah seperti kurangnya zat besi sangat terkait dengan tingkat produktifitas ini. Itulah sebabnya, kondisi status gizi yang normal (tidak pendek) dan pemenuhan gizi optimal sangat diharapkan untuk memperoleh kapasitas produksi yang maksimal dari setiap anggota masyarakat.


Status gizi anak Sulawesi Selatan

Pada tahun 2007, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dilakukan di seluruh kabupaten di 33 Propinsi di Indonesia. Riset ini melahirkan berbagai indikator kesehatan terutama status gizi anak balita. Ratusan ribu keluarga yang punya anak balita ikut dalam penelitian ini dan hasilnya ditampilkan menurut propinsi dan kabupaten. Data Sulsel tentang gizi anak balita memperlihatkan bahwa umumnya anak Sulsel mempunyai peringkat menengah dibanding propinsi lainnya di Indonesia. Hampir semua indikator status gizi menyerupai data rata-rata nasional. Untuk anak gizi kurang sebesar 12,0% dan gizi buruk 5,1% (rata-rata nasional masing-masing 13,0% dan 5,4%). Untuk jumlah anak pendek 29,1% (nasional 36,8%) dan anak kurus 13,7% (nasional 13,6%). Di beberapa kabupaten data ini terlihat lebih tinggi, seperti gizi kurang yang tinggi di Takalar (18,7%) dan Bone (17,8%) serta gizi buruk yang tinggi di Bantaeng (8,8%) dan Takalar (8,4%). Anak pendek ditemukan tinggi di Kabupaten Barru (38,5%) dan Bantaeng (37,6%) sedang anak kurus ditemukan tinggi di Kabupaten Wajo (24,7%) dan Takalar (18,3%).

Secara keseluruhan data di atas mengindikasikan bahwa kondisi Sulsel tidak seburuk beberapa propinsi yang mempunyai angka rata-rata penderita kekurangan gizi yang lebih tinggi seperti Sulbar, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Namun, dibanding dengan daerah lainnya, terutama daerah di Propinsi Jogyakarta dan Bali, kondisi di Sulsel masih lebih rendah. Untuk jumlah anak gizi kurang, di Jogyakarta dan Bali berturut-turut sebesar 8,2% dan 8,5% (Sulsel, 12%), dan gizi buruk di Jogya dan Bali (3,2% dan 2,4%) dan Sulsel 5,1%. Begitupun anak kurus di Jogya dan Bali (9% dan 10%) dan Sulsel (13,7%). Perbedaan ini harus dapat memotivasi keinginan Sulsel untuk menaikkan peringkat IPM ke tingkat 10 besar dengan melihat apa yang telah dilakukan di beberapa daerah lainnya.

Apa arti sebuah angka?

Seringkali kita tidak tertarik dengan angka walaupun angka memang tidak memperlihatkan masalah yang sebesarnya. Namun angka seharusnya dapat menggugah hati nurani kita betapa banyak anak yang menderita di sekitar kita. Apa yang ada di pikiran kita kalau melihat ada sekitar 13,7% anak balita di Sulsel mengalami kekurangan gizi akut (kurus). Apabila ada sebanyak 7 juta jiwa populasi di Sulsel, dan 10% merupakan anak balita (700.000 anak), maka 13,7% berarti ada sekitar 96.000 anak menderita status gizi kurus. Ini berarti, ada sebanyak itu yang mempunyai peluang untuk mengalami kekurangan gizi yang lebih lanjut (marasmus kwashiorkor) atau bahkan kematian. Kelompok ini mempunyai peluang mengalami kematian sampai 10 kali lebih besar dibanding anak normal disamping mengalami kehilangan sampai 15 IQ point.

Hal yang sama dapat kita lakukan untuk anak yang pendek di mana sbanyak 29,1% anak balita di Sulsel mengalami gangguan pertumbuhan (pendek). Ini berarti, ada sekitar 200 ribu anak di Sulsel yang mengalami gangguan kecerdasan dan tidak dapat berperan maksimal atau kurang produktif. Disamping itu anak-anak ini kelak akan beresiko terkena penyakit degeneratif lebih dini dan dampak kesehatan buruk lainnya dibandingkan dengan anak yang tumbuh normal. Besaran angka ini pada akhirnya dapat digunakan dalam menghitung berapa besar kerugian yang timbul bila masalah ini tidak ditanggulangi. Sebaliknya berapa besar keuntungan diperoleh apabila sebuah program penanggulangan masalah gizi dapat dijalankan secara efisien.

Menuju IPM terbaik

Sulsel sudah menetapkan bahwa mimpi yang akan diraih dalam pemerintahan ini adalah membawa peringkat Sulsel dari kelompok IPM terbawah menjadi kelompok IPM tertinggi. Tentu tidak ada satu solusi yang cocok buat semua wilayah untuk meningkatkan IPM. Namun demikian, satu-satunya ide dasar yang tidak bisa ditunda dan dapat mendongkrak (leverage) nilai IPM adalah perbaikan gizi ibu dan anak. Para ahli di berbagai negara sudah sepakat bahwa memberi perhatian kepada status gizi ibu dan anak merupakan jalan terbaik untuk memutuskan rantai kemiskinan dan selanjutnya dapat berdampak kepada kenaikan IPM.

Tentu pertanyaan yang sering muncul bagaimana memulainya. Yang pertama tentunya adalah pemahaman para pengambil kebijakan terhadap data status gizi anak termasuk ibu yang dimiliki. Kesadaran akan permasalahan gizi juga harus disertai dengan pemahaman tentang keberagaman masalah yang terkait di dalamnya. Mereka harus paham bahwa masalah gizi tidak hanya terkait dengan anak yang tidak mau makan atau kurang makanan di tingkat rumah tangga, namun terkait juga dengan pendidikan ibunya, pengetahauan dan ketrampilan yang dimiliki si ibu untuk merawat anaknya, dukungan keluarga terutama suami untuk mendampingi ibu hamil dan balita tentang kesehatan mereka. Dukungan masyarakat juga tidak kalah pentingnya, pada saat seorang ibu hamil membutuhkan bantuan baik material maupun non-material untuk kesehatan dan keselamatan dirinya dan anaknya.

Pemahaman di atas harusnya melahirkan suatu kebijakan penanggulanan masalah gizi yang komprehensif. Setiap satuan kerja harus dapat melihat bahwa aktifitas mereka sangat terkait dengan masalah gizi. Dinas pertanian harus menyadari bahwa outcome dari program pertanian tidak saja mencukupi kebutuhan pangan masyarakat namun juga masyarakat memperoleh akses makanan yang berkualitas dan cukup buat seluruh anggota keluarganya terutama untuk ibu dan anak balitanya. Dengan demikian, pemahanan terhadap makanan apa yang dibutuhkan oleh seorang ibu hamil dan anak balita yang harus tersedia dan mudah diakses oleh keluarga tersebut harus terus dikaji. Dinas pendidikan secara tidak langsung harus mengupayakan pemerataan pendidikan bagi semua anggota masyarakat terutama pendidikan informal kepada ibu rumah tangga. Yang paling sederhana adalah pendidikan bagaimana menjadi orang tua yang memiliki bekal yang cukup untuk memberi makan dan memelihara kesehatan dirinya dan anaknya dengan baik. Demikian pula dengan dinas dan instansi non departemen lainnya.

Saat ini Depkes masih terus berupaya untuk memperbaiki berbagai program yang terkait dengan perbaikan gizi masyarakat. Bahkan ke depan, akan ada satu Dirjen (pejabat eselon 1) yang membidangi gizi dan kesehatan ibu dan anak. Dinas kesehatan di daerah harus mengambil peran yang lebih aktif terhadap inovasi program yang bersifat preventif dan promotif dalam bidang gizi. Kerjasama dengan berbagai pihak harus terus dijalin. Kerjasama dengan Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan Pangan Daerah harus selalu dilakukan. Jadikan status gizi balita sebagai indikator dampak dari setiap program yang ada. Dengan demikian, program peningkatan konsumsi sayur dan buah, konsumsi telur, ikan, dan bahan pangan hewani lainnya yang merupakan sumber makanan bergizi untuk pertumbuhan anak harus menjadi satu paket dalam kebijakan penyediaan beras (sumber energi).

Keterlibatan PKK, Darwa Wanita, dan seluruh organisasi wanita lainnya harus dibangkitkan lagi dan terlihat nyata di lapangan. Para kader gizi di desa hampir semuanya wanita, namun mereka sebenarnya tidak mempunyai ketrampilan yang cukup. Bimibingan yang terus menerus harus dilakukan tanpa kenal lelah. Disamping itu peran perguruan tinggi, LSM, dan lembaga-lembaga di masyarakat yang ingin terlibat dalam satu gerakan memerangi anak kurang gizi harus dimaksimalkan. Dana CSR (Coorperate Social Responsibility) dari setiap perusahaan dapat dimanfaatkan, misalnya dalam program edukasi gizi di masyarakat sehingga di setiap sudut desa, kita bisa melihat pesan spanduk tentang penyadaran masyarakat terhadap gizi. Masih banyak program efektif lainnya yang dapat mengaktifkan peran masyarakat dalam perbaikan gizi mereka yang dapat dilakukan.

Akhirnya, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras lagi untuk mengkoordinir kegiatan ini. Gubernur dengan seluruh jajarannya di tingkat propinsi serta bupati dan jajarannya di daerah, harus turun langsung bersama masyarakat dan selalu terlibat aktif memonitor naik turunnya indikator status gizi ini di daerahnya masing-masing. Alat ukur yang telah tersedia dan sumber daya yang terlatih dapat digunakan secara maksimal untuk memantau indikator ini. Marilah kita menerima setiap data ini dengan hati yang terbuka. Dengan kesadaran penuh, marilah kita bertekad untuk menurunkan angka kekurangan gizi tersebut sedikit demi sedikit, dan suatu saat nanti, dengan berbagai program pembangunan yang kita laksanakan, kondisi gizi anak-anak kita terus meningkat dan semua ini akan mendorong peringkat IPM Sulsel ke posisi terhormat. Wallahu a’lam bishshawab.


Gizi Buruk dan Mitos Susu


Anak dengan gizi buruk masih sering menghiasi pemberitaan media massa. Umumnya kasus ini diangkat bersamaan dengan kondisi keluarga yang memprihatinkan seperti kemiskinan, orang tua yang tidak bekerja, atau jumlah anak yang banyak. Satu hal yang sering dihubungkan dengan anak gizi buruk ini juga adalah ketidaksanggupan keluarga membelikan susu (selain ASI) kepada anaknya. Seolah-olah susu menjadi salah satu penyebab penting terhadap kejadian anak gizi buruk. Pertanyaannya, apakah benar pemberian susu kepada anak akan mencegah kejadian gizi buruk?


Penyebab gizi buruk

Kasus gizi buruk pada umumnya bermula saat anak tersebut masih berada dalam kandungan ibunya atau dalam masa janin. Pertumbuhan janin dalam perut ibu memerlukan gizi dan lingkungan yang memadai. Ibu hamil yang sedang sakit atau mengalami kekurangan gizi merupakan kondisi yang tidak sehat bagi pertumbuhan janin. Ibu adalah satu-satunya sumber gizi bagi seorang bayi sehingga bila ibu tidak punya cadangan makanan (karena kekurusan) atau tidak mengkonsumsi makanan dengan baik (lebih rendah dari yang diperlukan baik kualitas maupun kuantitasnya) maka kebutuhan janin untuk pertumbuhannya tidak akan mencukupi.


Kondisi lingkungan tempat di mana ibu hamil tinggal juga mempengaruhi pertumbuhan janin. Salah satunya adalah paparan asap rokok yang diterima oleh ibu hamil. Kadang, selain berasal dari suaminya, si ibu menerima paparan asap rokok juga dari orang lain yang tinggal serumah. Hasil penelitian jelas memperlihatkan betapa buruknya akibat asap rokok yang diterima oleh si ibu dari orang yang merokok di sekitarnya (perokok pasif). Bahkan ada dugaan bahwa kualitas sperma dari seorang ayah perokok dapat menyebabkan kelainan genetik yang memudahkan seorang bayi mengalami gizi buruk.


Penyebab gizi buruk dapat juga berasal dari kondisi sejak bayi dilahirkan dan apa makanan utama yang diberikan oleh ibu kepada bayinya. Bayi yang tidak segera diberikan ASI akan berdampak pada ketidaksukaan si bayi terhadap ASI. Bayi akan merekam rasa dari susu pertama yang diberikan. Itulah sebabnya, cairan yang pertama diberikan kepada bayi harus ASI agar bayi langsung menyukai dan terus mengkonsumsi ASI dalam jumlah yang cukup. Kondisi lingkungan yang bersih dan jauh dari kuman akan mencegah bayi dari penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang terus berulang pada bayi dan anak balita memberikan pengaruh yang besar terhadap kejadian gizi buruk.


Paparan di atas dengan tegas memperlihatkan bahwa kejadian gizi buruk bukan suatu keadaan yang terjadi tiba-tiba. Juga, tidak ada kaitannya dengan ketidaksanggupan orang tua membelikan susu kepada anaknya. Memang susu adalah jenis makanan yang kaya akan zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral, namun tidak akan menyehatkan anaknya apabila faktor-faktor penyebab sejak janin dalam kandungan tidak diatasi. Bahkan pemberian susu yang tidak tepat dapat menyebabkan anak mengalami gizi buruk.


Mitos susu

ASI merupakan makanan terbaik buat bayi dan harus diberikan kepada bayi tanpa tambahan makanan apapun dalam 6 bulan pertama (ASI eksklusif). Selanjutnya, bayi perlu mendapat makanan pendamping (padat) dan ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun. Namun demikian banyak masyarakat umum yang memahami bahwa susu adalah makanan yang penting buat si bayi. Iklan televisi yang dilihat ibu tiap hari membentuk persepsi bahwa hanya dengan mengkonsumsi susu bayinya menjadi sehat. Sebaliknya hampir tidak ada iklan ASI yang memperlihatkan bahwa hanya dengan ASI saja untuk 6 bulan pertama, bayi ibu akan tumbuh dengan baik. Kalau ada, itu hanyalah proyek pemerintah yang didukung dana yang sangat minimal. Akibat dari pemahaman tersebut membuat ibu berusaha memberikan susu kepada bayinya dan menganggap bahwa itu adalah cara yang terbaik.


Mitos susu sudah merambah kepada semua lapisan masyarakat. Seorang teman pernah mendapati sebuah keluarga miskin yang tinggal di rumah yang kecil sedang memberikan susu botol kepada bayinya. Betapa kaget teman tersebut mengetahui bahwa ibu tidak memberikan ASI kepada bayinya dan mendapati bahwa petugas kesehatan di daerah tersebutlah yang memperkenalkan ibu tersebut dengan susu botol. Karena keterbatasan dana, ibu ini mengencerkan susu kepada bayinya agar satu kaleng yang diperuntukkan satu minggu bisa mencukupi sampai beberapa minggu. Dengan perilaku ini, kondisi bayi tersebut sangat memprihatinkan dan telah mengalami gizi buruk.


Mitos susu ini juga terjadi akibat informasi yang salah di media massa. Seringkali ada tulisan yang mengatakan bahwa seorang anak menderita gizi buruk karena orang tuanya tidak sanggup membelikan susu kepada anaknya. Seolah-olah ada persepsi bahwa tidak minum susu menjadi penyebab anak itu menderita gizi buruk. Padahal, bisa saja sebaliknya, karena bayi tidak diberikan ASI yang optimal, dan diberikan susu (tapi tidak sesuai standar berlaku) maka anak menderita gizi buruk. Kondisi ini banyak terjadi pada keluarga miskin dimana susu formula diencerkan sehingga anak mengalami kekurangan gizi dan daya tubuh yang lemah. Daya tahan tubuh yang lemak ini memudahkan bayi mengalami infeksi sehingga status gizi menurun terus dan pada akhirnya mengalami gizi buruk.


Peduli ibu dan bayi

Anak gizi buruk kadang pemicunya adalah petugas kesehatan sendiri. Bisa saja anak ini lahir dari seorang ibu yang yang tidak mendapatkan pendidikan gizi yang cukup dari petugas kesehatan. Ibu hamil tidak dibekali dengan pola konsumsi yang sehat agar janin yang berada dalam kandungannya tumbuh dengan baik. Demikian pula dengan pola konsumsi ibu saat menyusui agar ibu memiliki kualitas dan kuantitas ASI yang optimal. Yang lebih penting lagi bagaimana agar sejak hamil, seorang ibu memelihara payudaranya dan berniat untuk memberikan ASI yang optimal buat sang buah hati. Seharusnya ditanamkan kepada ibu hamil agar ASI adalah minuman yang terbaik dan tidak ada tandingannya dengan produk susu manapun. Ibu hamil harus juga yakin bahwa semua ibu mempunyai kemampuan untuk memberi ASI yang cukup kepada bayinya.


Petugas kesehatan yang mempunyai dedikasi yang tinggi dan peduli kepada ibu hamil dan bayi akan senantiasa meningkatkan pengetahuan mereka terhadap ASI ini. Tersedianya berbagai literatur tentang ASI ini yang diberikan secara gratis di semua pelayanan kesehatan bermanfaat buat mereka. Namun sangat disayangkan, sebagian petugas kesehatan menggunakan profesinya untuk mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung agar ibu mempunyai pilihan selain ASI. Kadang, bayi yang baru dilahirkan langsung diberikan susu formula tanpa sepengatahuan ibunya, dengan alasan ibu masih dalam kondisi lelah setelah melahirkan. Padahal dibalik itu, sebagian petugas melakukannya karena ada titipan dari produsen susu dengan janji yang menggiukan. Ini tidak saja terjadi di daerah perkotaan, tapi juga di daerah pedesaan yang sebagian besar penduduknya miskin. Sepertinya mereka tidak tahu bahwa susu yang diperkenalkan kepada si ibu yang miskin ini akan menjadi pemicu terhadap kejadian gizi buruk anaknya.


Kita harus bergembira bahwa Pemda Sulawesi Selatan, melalui satuan Dinas Kesehatan Propinsi, sedang mengusulkan Perda ASI. Perda ini diharapkan dapat mengatur pemberian ASI di seluruh institusi pelayanan kesehatan dan upaya mengendalikan promosi susu formula. Diharapkan, bersamaan dengan disyahkannya Perda ini, maka para petugas kesehatan akan diberikan bekal yang cukup untuk memberikan penyuluhan kepada anggota masyarakat terutama kepada ibu hamil untuk memberikan ASI yang optimal kepada bayinya. Disamping itu, pesan-pesan tentang pemberian ASI akan memperoleh tempat yang lebih banyak. Diharapkan bahwa semua elemen pemerintah dan masyarakat sangat sadar bahwa semua bayi yang lahir di daerahnya harus memperoleh ASI yang maksimal.


Kepada rekan-rekan petugas kesehatan, sangat diharapkan memperbaharui pengetahuan terhadap ASI. Ilmu tentang ASI sudah sangat berkembang dibanding 10 atau 20 tahun yang lalu. Para peneliti telah berusaha semaksimal mungkin agar bagaimana semua ibu dapat memberi ASI yang optimal kepada anaknya, walaupun anak tersebut lahir prematur atau ditolong melalui operasi. Kami juga ingin menganjurkan agar sedikitpun jangan tertarik dengan rayuan para produsen susu untuk menggunakan produk mereka dan menyepelekan pemberian ASI. Harus disadari, berapapun uang atau hadiah yang diberikan oleh produsen susu tidak sebanding dengan akibat yang bisa saja timbul pada anaknya nanti. Marilah kita sepakat bahwa bayi mempunyai HAK memperoleh ASI pada awal kehidupannya untuk memperoleh masa depan yang baik. Wallahu’alam bishshawab.