Jumat, 02 Juli 2010

Gizi Buruk dan Mitos Susu


Anak dengan gizi buruk masih sering menghiasi pemberitaan media massa. Umumnya kasus ini diangkat bersamaan dengan kondisi keluarga yang memprihatinkan seperti kemiskinan, orang tua yang tidak bekerja, atau jumlah anak yang banyak. Satu hal yang sering dihubungkan dengan anak gizi buruk ini juga adalah ketidaksanggupan keluarga membelikan susu (selain ASI) kepada anaknya. Seolah-olah susu menjadi salah satu penyebab penting terhadap kejadian anak gizi buruk. Pertanyaannya, apakah benar pemberian susu kepada anak akan mencegah kejadian gizi buruk?


Penyebab gizi buruk

Kasus gizi buruk pada umumnya bermula saat anak tersebut masih berada dalam kandungan ibunya atau dalam masa janin. Pertumbuhan janin dalam perut ibu memerlukan gizi dan lingkungan yang memadai. Ibu hamil yang sedang sakit atau mengalami kekurangan gizi merupakan kondisi yang tidak sehat bagi pertumbuhan janin. Ibu adalah satu-satunya sumber gizi bagi seorang bayi sehingga bila ibu tidak punya cadangan makanan (karena kekurusan) atau tidak mengkonsumsi makanan dengan baik (lebih rendah dari yang diperlukan baik kualitas maupun kuantitasnya) maka kebutuhan janin untuk pertumbuhannya tidak akan mencukupi.


Kondisi lingkungan tempat di mana ibu hamil tinggal juga mempengaruhi pertumbuhan janin. Salah satunya adalah paparan asap rokok yang diterima oleh ibu hamil. Kadang, selain berasal dari suaminya, si ibu menerima paparan asap rokok juga dari orang lain yang tinggal serumah. Hasil penelitian jelas memperlihatkan betapa buruknya akibat asap rokok yang diterima oleh si ibu dari orang yang merokok di sekitarnya (perokok pasif). Bahkan ada dugaan bahwa kualitas sperma dari seorang ayah perokok dapat menyebabkan kelainan genetik yang memudahkan seorang bayi mengalami gizi buruk.


Penyebab gizi buruk dapat juga berasal dari kondisi sejak bayi dilahirkan dan apa makanan utama yang diberikan oleh ibu kepada bayinya. Bayi yang tidak segera diberikan ASI akan berdampak pada ketidaksukaan si bayi terhadap ASI. Bayi akan merekam rasa dari susu pertama yang diberikan. Itulah sebabnya, cairan yang pertama diberikan kepada bayi harus ASI agar bayi langsung menyukai dan terus mengkonsumsi ASI dalam jumlah yang cukup. Kondisi lingkungan yang bersih dan jauh dari kuman akan mencegah bayi dari penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang terus berulang pada bayi dan anak balita memberikan pengaruh yang besar terhadap kejadian gizi buruk.


Paparan di atas dengan tegas memperlihatkan bahwa kejadian gizi buruk bukan suatu keadaan yang terjadi tiba-tiba. Juga, tidak ada kaitannya dengan ketidaksanggupan orang tua membelikan susu kepada anaknya. Memang susu adalah jenis makanan yang kaya akan zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral, namun tidak akan menyehatkan anaknya apabila faktor-faktor penyebab sejak janin dalam kandungan tidak diatasi. Bahkan pemberian susu yang tidak tepat dapat menyebabkan anak mengalami gizi buruk.


Mitos susu

ASI merupakan makanan terbaik buat bayi dan harus diberikan kepada bayi tanpa tambahan makanan apapun dalam 6 bulan pertama (ASI eksklusif). Selanjutnya, bayi perlu mendapat makanan pendamping (padat) dan ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun. Namun demikian banyak masyarakat umum yang memahami bahwa susu adalah makanan yang penting buat si bayi. Iklan televisi yang dilihat ibu tiap hari membentuk persepsi bahwa hanya dengan mengkonsumsi susu bayinya menjadi sehat. Sebaliknya hampir tidak ada iklan ASI yang memperlihatkan bahwa hanya dengan ASI saja untuk 6 bulan pertama, bayi ibu akan tumbuh dengan baik. Kalau ada, itu hanyalah proyek pemerintah yang didukung dana yang sangat minimal. Akibat dari pemahaman tersebut membuat ibu berusaha memberikan susu kepada bayinya dan menganggap bahwa itu adalah cara yang terbaik.


Mitos susu sudah merambah kepada semua lapisan masyarakat. Seorang teman pernah mendapati sebuah keluarga miskin yang tinggal di rumah yang kecil sedang memberikan susu botol kepada bayinya. Betapa kaget teman tersebut mengetahui bahwa ibu tidak memberikan ASI kepada bayinya dan mendapati bahwa petugas kesehatan di daerah tersebutlah yang memperkenalkan ibu tersebut dengan susu botol. Karena keterbatasan dana, ibu ini mengencerkan susu kepada bayinya agar satu kaleng yang diperuntukkan satu minggu bisa mencukupi sampai beberapa minggu. Dengan perilaku ini, kondisi bayi tersebut sangat memprihatinkan dan telah mengalami gizi buruk.


Mitos susu ini juga terjadi akibat informasi yang salah di media massa. Seringkali ada tulisan yang mengatakan bahwa seorang anak menderita gizi buruk karena orang tuanya tidak sanggup membelikan susu kepada anaknya. Seolah-olah ada persepsi bahwa tidak minum susu menjadi penyebab anak itu menderita gizi buruk. Padahal, bisa saja sebaliknya, karena bayi tidak diberikan ASI yang optimal, dan diberikan susu (tapi tidak sesuai standar berlaku) maka anak menderita gizi buruk. Kondisi ini banyak terjadi pada keluarga miskin dimana susu formula diencerkan sehingga anak mengalami kekurangan gizi dan daya tubuh yang lemah. Daya tahan tubuh yang lemak ini memudahkan bayi mengalami infeksi sehingga status gizi menurun terus dan pada akhirnya mengalami gizi buruk.


Peduli ibu dan bayi

Anak gizi buruk kadang pemicunya adalah petugas kesehatan sendiri. Bisa saja anak ini lahir dari seorang ibu yang yang tidak mendapatkan pendidikan gizi yang cukup dari petugas kesehatan. Ibu hamil tidak dibekali dengan pola konsumsi yang sehat agar janin yang berada dalam kandungannya tumbuh dengan baik. Demikian pula dengan pola konsumsi ibu saat menyusui agar ibu memiliki kualitas dan kuantitas ASI yang optimal. Yang lebih penting lagi bagaimana agar sejak hamil, seorang ibu memelihara payudaranya dan berniat untuk memberikan ASI yang optimal buat sang buah hati. Seharusnya ditanamkan kepada ibu hamil agar ASI adalah minuman yang terbaik dan tidak ada tandingannya dengan produk susu manapun. Ibu hamil harus juga yakin bahwa semua ibu mempunyai kemampuan untuk memberi ASI yang cukup kepada bayinya.


Petugas kesehatan yang mempunyai dedikasi yang tinggi dan peduli kepada ibu hamil dan bayi akan senantiasa meningkatkan pengetahuan mereka terhadap ASI ini. Tersedianya berbagai literatur tentang ASI ini yang diberikan secara gratis di semua pelayanan kesehatan bermanfaat buat mereka. Namun sangat disayangkan, sebagian petugas kesehatan menggunakan profesinya untuk mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung agar ibu mempunyai pilihan selain ASI. Kadang, bayi yang baru dilahirkan langsung diberikan susu formula tanpa sepengatahuan ibunya, dengan alasan ibu masih dalam kondisi lelah setelah melahirkan. Padahal dibalik itu, sebagian petugas melakukannya karena ada titipan dari produsen susu dengan janji yang menggiukan. Ini tidak saja terjadi di daerah perkotaan, tapi juga di daerah pedesaan yang sebagian besar penduduknya miskin. Sepertinya mereka tidak tahu bahwa susu yang diperkenalkan kepada si ibu yang miskin ini akan menjadi pemicu terhadap kejadian gizi buruk anaknya.


Kita harus bergembira bahwa Pemda Sulawesi Selatan, melalui satuan Dinas Kesehatan Propinsi, sedang mengusulkan Perda ASI. Perda ini diharapkan dapat mengatur pemberian ASI di seluruh institusi pelayanan kesehatan dan upaya mengendalikan promosi susu formula. Diharapkan, bersamaan dengan disyahkannya Perda ini, maka para petugas kesehatan akan diberikan bekal yang cukup untuk memberikan penyuluhan kepada anggota masyarakat terutama kepada ibu hamil untuk memberikan ASI yang optimal kepada bayinya. Disamping itu, pesan-pesan tentang pemberian ASI akan memperoleh tempat yang lebih banyak. Diharapkan bahwa semua elemen pemerintah dan masyarakat sangat sadar bahwa semua bayi yang lahir di daerahnya harus memperoleh ASI yang maksimal.


Kepada rekan-rekan petugas kesehatan, sangat diharapkan memperbaharui pengetahuan terhadap ASI. Ilmu tentang ASI sudah sangat berkembang dibanding 10 atau 20 tahun yang lalu. Para peneliti telah berusaha semaksimal mungkin agar bagaimana semua ibu dapat memberi ASI yang optimal kepada anaknya, walaupun anak tersebut lahir prematur atau ditolong melalui operasi. Kami juga ingin menganjurkan agar sedikitpun jangan tertarik dengan rayuan para produsen susu untuk menggunakan produk mereka dan menyepelekan pemberian ASI. Harus disadari, berapapun uang atau hadiah yang diberikan oleh produsen susu tidak sebanding dengan akibat yang bisa saja timbul pada anaknya nanti. Marilah kita sepakat bahwa bayi mempunyai HAK memperoleh ASI pada awal kehidupannya untuk memperoleh masa depan yang baik. Wallahu’alam bishshawab.

1 Komentar:

Pada 5 Oktober 2010 pukul 06.10 , Blogger idasumartini mengatakan...

Sepakat....Alhamdulillah sya bisa memberikan ASI ekslusif kepada kedua buah hati saya,ditengah gempuran komentar dari sekeliling bahwa 6 bulan kelamaan,dulu juga ga harus 6 bulan ASI sehat2 saja,makanan pendamping nda perlu tunggu 6 bulan,law nda minum susu formula nda sehat dan lai-lain...Ironi memang karena banyak juga petugas kesehatan yang notabene ngeh dengan kebaikan ASI tapi malah menawarkan bahkan menyarankan penggunaan susu formula..Bahkan Klinik Bersalin pun demikian, di lemarinya kadang berjejar susu formula dengan brand tertentu...So sepertinya memang menjadi tugas semua pihak untuk kembali "mempromosikan'ASI sebagai makanan terbaik buat bayi hingga usia 6 bulan....Insya Allah gizi buruk jauh.....

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda