Jumat, 02 Juli 2010

Status Gizi Anak Balita dan Solusi Terbaik untuk Peningkatan IPM Sulawesi Selatan (Bagian kedua)


Indeks pembangunan manusia (IPM) saat ini telah digunakan sebagai indikator pembangunan suatu negara atau daerah. Walaupun indikator ini terbatas pada tiga komponen saja, namun menjadi dasar pencapaian kinerja dari suatu pemerintahan. Tiga hal yang menjadi ukuran adalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Secara sederhana umur harapan hidup digunakan sebagai wakil sektor kesehatan. Telah diketahui bahwa status kesehatan masyarakat yang baik dapat memperpanjang umur harapan hidup. Sebaliknya umur harapan hidup suatu negara menurun dengan tingginya angka kematian atau angka penyakit yang nantinya mempercepat kematiannya. Sektor pendidikan dinilai dari prosentasi anak yang bersekolah sesuai umurnya termasuk jumlah penduduk yang bisa baca tulis. Sektor ekonomi diukur dengan pendapatan per kapita atau dapat dikatakan ukuran tingkat produktifitas yang dapat disumbangkan oleh setiap orang.

Status gizi secara langsung dapat mempengaruhi ke tiga indikator di atas. Sebagai ilustrasi, seorang anak yang lahir dari seorang ibu dengan status gizi yang baik dan memperoleh makanan yang adekuat selama kehamilannya dapat melahirkan seorang bayi sehat yang tumbuh berkembang secara optimal dan mempunyai umur harapan hidup yang baik (kesehatan). Bila bayi ini diberi ASI eksklusif dan memperoleh makanan pendamping ASI yang kaya gizi pada usia 6 bulan ke atas maka akan tumbuh dengan tingkat kecerdasan yang optimal. Seterusnya anak ini dapat melanjutkan sekolah dengan baik (pendidikan) dan bisa menamatkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi dan akhirnya menjadi sumber daya manusia yang produktif (ekonomi). Lebih rinci, hubungan status gizi dengan ketiga indikator IPM dapat dikemukakan di bawah ini.

Status gizi dan IPM

Anak dengan status gizi kurang atau buruk mempunyai resiko memperoleh penyakit lebih tinggi bahkan resiko kematian yang lebih tinggi dibanding anak normal. Seperti halnya yang dilaporkan oleh WHO (2000) bahwa sebanyak 60% dari penyebab kematian pada anak balita disebabkan secara tidak langsung oleh status gizi kurang. Bisa saja anak itu mengalami penyakit infeksi seperti diare, pneumonia, atau morbili, tapi bila gizinya baik maka ada proteksi dalam tubuhnya sehingga penyakit yang dideritanya itu tidak sampai menyebabkan kematian. Studi di beberapa negara memperlihatkan angka kematian anak di daerah dengan jumlah anak kurus yang melebihi 10% tanpak lebih tinggi. Secara fisiologi, kondisi ini dapat dijelaskan dengan sistem pertahanan tubuh yang lemah pada mereka yang kekurangan gizi sehingga mudah memperoleh penyakit atau penyakitnya lebih parah dibanding anak yang normal.

Hubungan status gizi anak dengan kecerdasan telah banyak diteliti dalam 2 dekade terakhir ini. Para ahli dapat menghitung besarnya kehilangan IQ sampai sebesar 15 point pada anak yang menderita gizi buruk. Demikian pula pada mereka yang pendek, terdapat penurunan kecerdasan yang selama ini dikaitkan dengan usia pertama kali masuk sekolah, tingginya angka drop-out, dan kesulitan menyelesaikan sekolah pada waktunya. Pengaruh gizi terhadap kecerdasan secara sederhana dapat dikaitkan dengan perkembangan otak anak yang dimulai sejak dalam kandungan sampai mencapai maksimal sampai anak berusia 5 tahun. Digambarkan berat otak anak yang baru lahir hanya 25% berat otak dewasa, pada saat anak berusia 2 tahun menjadi 70% berat otak dewasa, dan pada usia 5 tahun sudah sampai sebesar 90% berat otak dewasa. Pertumbuhan otak yang luar biasa dalam 2-5 tahun pertama ini memerlukan gizi yang sangat tinggi.

Disamping itu, otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan rangsangan dari luar di mana aktifitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Otak merupakan organ yang membutuhkan sumber bahan bakar glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi energi terbesar dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Otak juga membutuhkan protein, asam lemak esensial, serta berbagai vitamin dan mineral. Zat gizi ini digunakan untuk memperbanyak sel syaraf, memperlancar perjalanan syarat (neurotransmitter) dan berbagai aktifitas yang terkait dengan fungsi otak lainnya.

Hubungan status gizi dengan produktifitas sangat jelas terlihat pada mereka dengan status gizi pendek yang tidak dapat melakukan pekerjaan dengan intensitas yang berat. Selain status fisik (tinggi badan), zat gizi mikro yang terkait dengan kapasitas otot, fungsi jantung dan peredaran darah seperti kurangnya zat besi sangat terkait dengan tingkat produktifitas ini. Itulah sebabnya, kondisi status gizi yang normal (tidak pendek) dan pemenuhan gizi optimal sangat diharapkan untuk memperoleh kapasitas produksi yang maksimal dari setiap anggota masyarakat.


Status gizi anak Sulawesi Selatan

Pada tahun 2007, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dilakukan di seluruh kabupaten di 33 Propinsi di Indonesia. Riset ini melahirkan berbagai indikator kesehatan terutama status gizi anak balita. Ratusan ribu keluarga yang punya anak balita ikut dalam penelitian ini dan hasilnya ditampilkan menurut propinsi dan kabupaten. Data Sulsel tentang gizi anak balita memperlihatkan bahwa umumnya anak Sulsel mempunyai peringkat menengah dibanding propinsi lainnya di Indonesia. Hampir semua indikator status gizi menyerupai data rata-rata nasional. Untuk anak gizi kurang sebesar 12,0% dan gizi buruk 5,1% (rata-rata nasional masing-masing 13,0% dan 5,4%). Untuk jumlah anak pendek 29,1% (nasional 36,8%) dan anak kurus 13,7% (nasional 13,6%). Di beberapa kabupaten data ini terlihat lebih tinggi, seperti gizi kurang yang tinggi di Takalar (18,7%) dan Bone (17,8%) serta gizi buruk yang tinggi di Bantaeng (8,8%) dan Takalar (8,4%). Anak pendek ditemukan tinggi di Kabupaten Barru (38,5%) dan Bantaeng (37,6%) sedang anak kurus ditemukan tinggi di Kabupaten Wajo (24,7%) dan Takalar (18,3%).

Secara keseluruhan data di atas mengindikasikan bahwa kondisi Sulsel tidak seburuk beberapa propinsi yang mempunyai angka rata-rata penderita kekurangan gizi yang lebih tinggi seperti Sulbar, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Namun, dibanding dengan daerah lainnya, terutama daerah di Propinsi Jogyakarta dan Bali, kondisi di Sulsel masih lebih rendah. Untuk jumlah anak gizi kurang, di Jogyakarta dan Bali berturut-turut sebesar 8,2% dan 8,5% (Sulsel, 12%), dan gizi buruk di Jogya dan Bali (3,2% dan 2,4%) dan Sulsel 5,1%. Begitupun anak kurus di Jogya dan Bali (9% dan 10%) dan Sulsel (13,7%). Perbedaan ini harus dapat memotivasi keinginan Sulsel untuk menaikkan peringkat IPM ke tingkat 10 besar dengan melihat apa yang telah dilakukan di beberapa daerah lainnya.

Apa arti sebuah angka?

Seringkali kita tidak tertarik dengan angka walaupun angka memang tidak memperlihatkan masalah yang sebesarnya. Namun angka seharusnya dapat menggugah hati nurani kita betapa banyak anak yang menderita di sekitar kita. Apa yang ada di pikiran kita kalau melihat ada sekitar 13,7% anak balita di Sulsel mengalami kekurangan gizi akut (kurus). Apabila ada sebanyak 7 juta jiwa populasi di Sulsel, dan 10% merupakan anak balita (700.000 anak), maka 13,7% berarti ada sekitar 96.000 anak menderita status gizi kurus. Ini berarti, ada sebanyak itu yang mempunyai peluang untuk mengalami kekurangan gizi yang lebih lanjut (marasmus kwashiorkor) atau bahkan kematian. Kelompok ini mempunyai peluang mengalami kematian sampai 10 kali lebih besar dibanding anak normal disamping mengalami kehilangan sampai 15 IQ point.

Hal yang sama dapat kita lakukan untuk anak yang pendek di mana sbanyak 29,1% anak balita di Sulsel mengalami gangguan pertumbuhan (pendek). Ini berarti, ada sekitar 200 ribu anak di Sulsel yang mengalami gangguan kecerdasan dan tidak dapat berperan maksimal atau kurang produktif. Disamping itu anak-anak ini kelak akan beresiko terkena penyakit degeneratif lebih dini dan dampak kesehatan buruk lainnya dibandingkan dengan anak yang tumbuh normal. Besaran angka ini pada akhirnya dapat digunakan dalam menghitung berapa besar kerugian yang timbul bila masalah ini tidak ditanggulangi. Sebaliknya berapa besar keuntungan diperoleh apabila sebuah program penanggulangan masalah gizi dapat dijalankan secara efisien.

Menuju IPM terbaik

Sulsel sudah menetapkan bahwa mimpi yang akan diraih dalam pemerintahan ini adalah membawa peringkat Sulsel dari kelompok IPM terbawah menjadi kelompok IPM tertinggi. Tentu tidak ada satu solusi yang cocok buat semua wilayah untuk meningkatkan IPM. Namun demikian, satu-satunya ide dasar yang tidak bisa ditunda dan dapat mendongkrak (leverage) nilai IPM adalah perbaikan gizi ibu dan anak. Para ahli di berbagai negara sudah sepakat bahwa memberi perhatian kepada status gizi ibu dan anak merupakan jalan terbaik untuk memutuskan rantai kemiskinan dan selanjutnya dapat berdampak kepada kenaikan IPM.

Tentu pertanyaan yang sering muncul bagaimana memulainya. Yang pertama tentunya adalah pemahaman para pengambil kebijakan terhadap data status gizi anak termasuk ibu yang dimiliki. Kesadaran akan permasalahan gizi juga harus disertai dengan pemahaman tentang keberagaman masalah yang terkait di dalamnya. Mereka harus paham bahwa masalah gizi tidak hanya terkait dengan anak yang tidak mau makan atau kurang makanan di tingkat rumah tangga, namun terkait juga dengan pendidikan ibunya, pengetahauan dan ketrampilan yang dimiliki si ibu untuk merawat anaknya, dukungan keluarga terutama suami untuk mendampingi ibu hamil dan balita tentang kesehatan mereka. Dukungan masyarakat juga tidak kalah pentingnya, pada saat seorang ibu hamil membutuhkan bantuan baik material maupun non-material untuk kesehatan dan keselamatan dirinya dan anaknya.

Pemahaman di atas harusnya melahirkan suatu kebijakan penanggulanan masalah gizi yang komprehensif. Setiap satuan kerja harus dapat melihat bahwa aktifitas mereka sangat terkait dengan masalah gizi. Dinas pertanian harus menyadari bahwa outcome dari program pertanian tidak saja mencukupi kebutuhan pangan masyarakat namun juga masyarakat memperoleh akses makanan yang berkualitas dan cukup buat seluruh anggota keluarganya terutama untuk ibu dan anak balitanya. Dengan demikian, pemahanan terhadap makanan apa yang dibutuhkan oleh seorang ibu hamil dan anak balita yang harus tersedia dan mudah diakses oleh keluarga tersebut harus terus dikaji. Dinas pendidikan secara tidak langsung harus mengupayakan pemerataan pendidikan bagi semua anggota masyarakat terutama pendidikan informal kepada ibu rumah tangga. Yang paling sederhana adalah pendidikan bagaimana menjadi orang tua yang memiliki bekal yang cukup untuk memberi makan dan memelihara kesehatan dirinya dan anaknya dengan baik. Demikian pula dengan dinas dan instansi non departemen lainnya.

Saat ini Depkes masih terus berupaya untuk memperbaiki berbagai program yang terkait dengan perbaikan gizi masyarakat. Bahkan ke depan, akan ada satu Dirjen (pejabat eselon 1) yang membidangi gizi dan kesehatan ibu dan anak. Dinas kesehatan di daerah harus mengambil peran yang lebih aktif terhadap inovasi program yang bersifat preventif dan promotif dalam bidang gizi. Kerjasama dengan berbagai pihak harus terus dijalin. Kerjasama dengan Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan Pangan Daerah harus selalu dilakukan. Jadikan status gizi balita sebagai indikator dampak dari setiap program yang ada. Dengan demikian, program peningkatan konsumsi sayur dan buah, konsumsi telur, ikan, dan bahan pangan hewani lainnya yang merupakan sumber makanan bergizi untuk pertumbuhan anak harus menjadi satu paket dalam kebijakan penyediaan beras (sumber energi).

Keterlibatan PKK, Darwa Wanita, dan seluruh organisasi wanita lainnya harus dibangkitkan lagi dan terlihat nyata di lapangan. Para kader gizi di desa hampir semuanya wanita, namun mereka sebenarnya tidak mempunyai ketrampilan yang cukup. Bimibingan yang terus menerus harus dilakukan tanpa kenal lelah. Disamping itu peran perguruan tinggi, LSM, dan lembaga-lembaga di masyarakat yang ingin terlibat dalam satu gerakan memerangi anak kurang gizi harus dimaksimalkan. Dana CSR (Coorperate Social Responsibility) dari setiap perusahaan dapat dimanfaatkan, misalnya dalam program edukasi gizi di masyarakat sehingga di setiap sudut desa, kita bisa melihat pesan spanduk tentang penyadaran masyarakat terhadap gizi. Masih banyak program efektif lainnya yang dapat mengaktifkan peran masyarakat dalam perbaikan gizi mereka yang dapat dilakukan.

Akhirnya, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras lagi untuk mengkoordinir kegiatan ini. Gubernur dengan seluruh jajarannya di tingkat propinsi serta bupati dan jajarannya di daerah, harus turun langsung bersama masyarakat dan selalu terlibat aktif memonitor naik turunnya indikator status gizi ini di daerahnya masing-masing. Alat ukur yang telah tersedia dan sumber daya yang terlatih dapat digunakan secara maksimal untuk memantau indikator ini. Marilah kita menerima setiap data ini dengan hati yang terbuka. Dengan kesadaran penuh, marilah kita bertekad untuk menurunkan angka kekurangan gizi tersebut sedikit demi sedikit, dan suatu saat nanti, dengan berbagai program pembangunan yang kita laksanakan, kondisi gizi anak-anak kita terus meningkat dan semua ini akan mendorong peringkat IPM Sulsel ke posisi terhormat. Wallahu a’lam bishshawab.


1 Komentar:

Pada 22 Januari 2014 pukul 00.15 , Blogger Rahmayana mengatakan...

terima kasih pak atas informasinya. sangat bermanfaat bagi kami.

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda